TUGAS SOFTSKILL
KASUS YANG BERKAITAN DENGAN PEREKONOMIAN INTERNASIONAL
RENI VITRIA
2EB21
27213406
Kasus yang Berkaitan dengan Perekonomian Internasional :
1. Pengembangan Industri Otomotif Indonesia dalam Perspektif GVC (Jamal)
Beralih ke dalam negeri, saat
ini Indonesia menjadi pasar otomotif terbesar ke-11 untuk tingkat dunia dan ke-2 untuk tingkat ASEAN. Pasar dan industri mobil
di Indonesia dikuasai oleh lima perusahaan
Jepang, yaitu Toyota, Daihatsu, Mitsubishi, Honda, dan Suzuki. Sehingga, total kontribusi
kelimanya tercatat mencapai 95 persen. Dari beberapa
data diatas, sangat jelas terlihat persaingan produk otomotif asing yang sangat besar di wilayah Indonesia. Hal ini tentu sangat disayangkan
mengingat dalam kompetisi tersebut posisi Indonesia tidak
berada di level yang sama, melainkan menjadi objek pasar yangmengandalkan
tingginya tingkat konsumsi. Padahal, jika pemerintah Indonesia bisa serius menjalankan proyek industri otomotif nasional, bisa jadi negara ini memiliki mobil
nasionalyang dipakai oleh rakyatnya sendiri. Beberapa
paradoks diatas kemudian dianalisa oleh presenter, Jamal, dengan menggaris bawahi beberapa sudut pandang.
Perkembangan industri otomotif di Indonesia didorong oleh dua faktor. Pertama, faktor pemerintah
melalui kebijakan kandungan lokal. Kedua, faktor asing melalui prinsipal asing yang membuat jejaring industrinya di negara tujuan.
Perkembangan oleh faktor kedua lebih mendominasi industri
otomotif di Indonesia. Industri otomotif nasional
merupakan industri yang berbasis pada impor. Secara umum, aktivitas dalam industri otomotif nasional
adalah industri perakitan. Kurangnya kemampuan industri otomotif nasional untuk membuat produk yang sesuai dengan standar
internasional dan kebutuhan masyarakat global
sekarang ini membuat perlunya mengimpor produk. Pemenuhan teknologi yang masih kecil dan
kekurangmampuan sumber daya manusia Indonesia menjadi faktor yang mengakibatkan ketergantungan terhadap produk impor. Banyaknya
komponen-komponen yang belum mampu dibuat oleh industri nasional Indonesia
membuat nilai imporselalu lebih besar daripada nilai ekspor, karena upaya untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat akan komponen
tersebut dilakukan dengan mengimpor. Akibatnya, pada tahun 1997 produsen mobil lokal berguguran, transfer teknologi tidak berhasil di sini,
banyaknya merek yang ada disini menyebabkan economic scale lemah (pemain
berinteraksi dengan banyaknya produsen),principal asing lebih suka mitra lokal
berfungsi sebagai distributor, bukan manufacturer. Terdapat beberapa alasan mengapa proyek mobil nasional Indonesia gagal.
Pertama, responpasar. Pada awal diinisiasi, konsumen lokal amat sedikit, namun
sebenarnya bertumbuh dengan cepat. dimana
sebenanrnya lama-lama bertumbuh amat cepat. Kedua, strategi yang tidak efektif. Pada dasarnya, cara tepat untuk memperkenalkan produk mobnas pada
masyarakat yakni tidak langsung dijadikan konsumsi publik, namun bisa
untuk keperluan mobil dinas, pertanian, sama seperti negara
lain seperti Jerman yang awalnya untuk penggunaan militer
2. (Budaya Bisnis Internasional) -
Enron, India
Kasus Enron Internasional di India Enron sebuah
perusahaan dibidang energi yang berasal dari USA pada 1990 mencoba untuk
menggarap pasar india yaitu dengan membangun instalasi energi yang diperlukan
oleh industri di India. Namun dalam pelaksanaanya, Enron mengalami beberapa
hambatan sebelum tujuanya untuk dapat menjadi penyedia energi tunggal di India
dapat tercapai. Hambatan itu berupa halangan dan sulitnya negosiasi yang
dilakukan Enron terhadap pemerintahan lokal Maharashtra yaitu daerah yang akan
menjadi lokasi pembangunan proyek energi yang didanai oleh Enron. Hal ini
disebakan oleh adanya pergantian kekuasaan dimana partai penguasa yang baru di
Maharashtra koalisi BJP dan Shiv Sena. BJP dan Shiv Sena mengangkat isu korupsi
dan ajaran swadesi dari Gandhi dalam kampanye sebelum kemenanganya. Sehingga
setelah BJP berkuasa di Mahrashtra proyek Enron tertunda beberapa lama, BJP
menuduh pemerintahan sebelumnya telah melakukan korupsi dan kolusi dengan Enron
untuk menggoalkan pembangunan proyek Enron. Walaupun tuduhan itu tidak
terbukti, tapi sempat memunculkan ketegangan antara pihak Enron dan pemerintah
lokal Maharashtra. Enron terus mengadakan perundingan baik melalui konsolidasi
dengan pemerintah lokal Maharashtra, maupun dengan upaya penekanan Bill Clinton
terhadap pemerintah India supaya proyek Enron dapat diteruskan. Mengapa Enron
begitu bersemangat untuk menjalankan proyek energi tersebut walau banyak
menghadapi resiko dan tantangan dari pemerintah lokal Maharashtra? Hal ini
disebabkan Enron mempunyai tujuan jangka panjang yaitu sebagai penguasa tunggal
penyedia proyek energi di India, selain itu enron juga bermaksud untuk memasok
produk LNGnya di Qatar agar diserap untuk bahan bakar energi di India. Oleh
karena itu Enron memilih lokasi pembangunan proyek energi yang dekat dengan
Gulf States, Qatar, agar biaya pengiriman LNG ke proyek di India lebih murah.
Hambatan negoisasi dan terhambatnya pembangunan proyek enron di India
disebabkan oleh adanya perubahan penguasa politik di Maharashtra, aturan dan
sistem birokratik yang berbelit di India, dan ketidak samaan pola kebijakan
antara pemerintah lokal dan pemerintah pusat dalam menanggani investror. Hal
tersebut menjadi pelajaran berharga bahwa dalam menjalankan bisnis Internasional
dalam hal ini berinvestasi di negara lain, perlu memperhatikan sistem
pemerintahan dan politik di negara yang dituju, juga dengan aturan birokratik
yang berliku di negara yang dituju.
3.
Disney in France
Disney sebagai
perusahaan yang mengembangkan konsep taman hiburan dalam bisnisnya telah
berhasil meraih keuntungan di Amerika Serikat dan Jepang. Langkah selanjutnya yang dilakukan Disney adalah mencoba memasuki pasar
Eropa, dalam hal ini Paris sebagai target utamanya. Mengapa Paris yang
dijadikan kota yang akan dibangun taman hiburan berikutnya? Mengapa tidak
memilih kota yang lain?
Disney berargumen bahwa Paris
dipilih karena beberapa alasan, pertama sekitar 17 juta orang eropa
tinggal kurang dari dua jam perjalanan menuju Paris, dan sekitar 310 juta dapat
terbang ke Paris pada waktu yang sama. Kedua, besarnya perhatian
pemerintah kota paris yang menawarkan lebih dari satu milyar dollar dalam
berbagai insentif, dan ekspektasi bahwa proyek ini akan menciptakan 30000
lapangan pekerjaan.
Namun apa yang
terjadi? Dalam pelaksanaanya Disney mengahadapi beberapa masalah antara lain berupa
boikot acara pembukaan oleh menteri kebudayaan Perancis, dan kegagalan Disney
untuk memperoleh target pengunjung yang datang dan pendapatan yang diharapakan.
Mengapa bisa? Hal ini disebabkan karena Disney kesalahan asumsi terhadap selera
dan pilihan dari konsumen di Perancis. Ini disebabkan karena perbedaan budaya,
Disney menganggap pola budaya perusahaan yang telah berhasil dijalankan di
Amerika Serikat dan Jepang akan berhasil pula di Perancis, ternyata tidak.
Sebagai contoh, pertama, kebijakan disney untuk tidak menyediakan
minuman alkohol di taman hiburan, berakibat buruk karena di Paris sudah menjadi
kebiasaan untuk makan siang dengan segelas wine. Kedua asumsi bahwa hari
jumat akan lebih ramai dari hari minggu, ternyata berkebalikan. Ketiga, Disney
tidak menyediakan sarapan pagi berupa bacon dan telur seperti yang dinginkan
oleh konsumen, tapi malah menyediakan kopi dan Croissant.
Begitu juga dengan model kerja tim
yang diterapkan, disney mencoba menerapakan model kerja tim yang serupa
dilakukan di USA dan Jepang, yang tidak dapat diterima oleh karyawan Disney di
Paris. Juga kesalahan perkiraan Disney bahwa orang Eropa akan menghabiskan
waktu lam di taman mereka, ternyata keliru.
Kegagalan dan
kesalahan pola budaya perusahaan yang dilakukan Disney di Paris, disebabkan
oleh adanya kesalahan penafsiran budaya. Disney
beranggapan bahwa apa yang diterapakan dan sukses di USA dan jepang akan sukses
pula di Perancis. Disney seharusnya mengadakan riset dahulu tentang bagaimana
budaya orang Perancis agar pola budaya perusahaan dapat disesuaikan dengan
kultur setempat dan diterapkan di Perancis. Dan setelah Disney merubah
strateginya yaitu dengan merubah nama perusahaannya menjadi Disney land Paris,
merubah makanan dan pakaian yang ditawarkan sesuai pola budaya setempat, harga
tiket dipotong sepertiganya, terbukti jumlah pengunjung Disney di Paris
mengalami kenaikan.
4. Kesepakatan ASEAN-China Free Trade
Area
Yang dimulai awal tahun 2010 –
merupakan sebuah kebijakan yang strategis. Dari kesepakatan tersebut bisa lahir
kebijakan fiskal bersama, seperti yang dilakukan Uni Eropa setelah melalui
beberapa proses integrasi ekonomi. Namun, tidak menutup kemungkinan kesatuan
kebijakan tersebut akan mengarah kepada integrasi regional yang lebih
menyeluruh, termasuk politik. David Mitrany menyebut proses tersebut dengan
ramifikasi.[1] Uni Eropa memulainya dengan kerjasama batubara dan baja
(European Coal and Steel Community).
Kerjasama itu kemudian mengalami ramifikasi – atau
istilah Ernst Haas spill over – sampai saat ini telah menciptakan mata uang
bersama. Jika mengacu pada Mitrany, tentunya ACFTA akan berdampak positif bagi
perekonomian maupun keamanan Asia Tenggara. Dalam bidang perekonomian,
terjalinnya ACFTA akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Hingga
2005 ASEAN menjadi mitra kerjasama kelima terbesar bagi China. Nilai investasi
ASEAN ke China sebesar 28 persen sejak tahun 1991 sampai 2001. Sedangkan
investasi China ke ASEAN sebesar 7,7 persen dari seluruh investasi China ke
luar negeri.[2] Nilai invenstasi China ke ASEAN yang relatif kecil sebenarnya
seimbang dengan besarnya nilai investasi ASEAN ke China. China sendiri
merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Hal tersebut
merupakan potensi pasar yang sangat besar bagi negara-negara Asia Tenggara.
Kerjasama ACFTA – selain memunculkan interdependensi – juga akan menjadikan
China sebagai negara hegemon di kawasan.
Hal itu bisa dilihat dari perekonomian yang terus
melesat mengejar Amerika Serikat dalam satu dekade terakhir. Bank Dunia
memprediksi,[3] Cina akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar mengalahkan AS, 25
tahun yang akan datang.[4] Dan yang lebih mengagetkan, tujuh dari lima belas
ekonomi dunia akan berasal dari kawasan Asia. Tentunya prediksi semacam ini
akan menimbulkan dampak yang sangat positif bagi negara-negara Asia Tenggara.
Absennya AS di kawasan Asia Tenggara merupakan faktor yang sangat mempengaruhi
kedekatan China dengan negara-negara Asia Tenggara. Permasalahan keamanan yang
pernah membuat hubungan China dan beberapa negara Asia Tenggara tegang di
masa-masa Perang Dingin, kini telah mencair.
Begitu juga dengan permasalahan sengketa wilayah di
Laut China Selatan. Sengketa klaim kepemilikan kepulauan Paracel di Laut China
Selatan antara China, Filipina dan juga Vietnam juga dapat diredam sangat baik,
dengan dibentuknya kerjasama untuk mencari cadangan minyak bersama di wilayah
itu.[5] Kesepakatan tersebut tentunya sangat positif, mengingat sengketa
wilayah Laut China Selatan telah berlangsung secara terbuka pada tahun 1996.
Pada tahun tersebut terjadi aksi tembak menembak antara angkatan laut China dan
Filipina di dekat pulau Capones. Peristiwa tersebut terjadi beberapa kali sampai
tahun 1999. Kerjasama-kerjasama tersebut nampaknya menjadi semakin bermakna,
ketika memasuki abad 21, China giat mengembangkan kemampuan soft power-nya.
Hard power – seperti ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi dan pertahanan – yang
dimiliki oleh China tidak perlu diragukan lagi.
Saat ini soft power China yang berbasis pada budaya,
filosofi-filosofi tradisional, dan lain sebagainya,[6] semakin diminati oleh
negara-negara di Asia Tenggara. Joseph Nye mengatakan, soft power adalah
“kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan melalui ketertarikan
(attraction) daripada paksaan atau bayaran.[7] Salah satu perbedaan mendasar
antara hard dan soft power terletak pada medianya. Jika soft power menggunakan
budaya sebagai media untuk menarik negara – atau aktor – lain, hard power
menggunakan ancaman, paksaan atau hukuman (sticks and carrots). Soft power itu
ditandai dengan kesuksesan China meyakinkan negara-negara di Asia Tenggara
terhadap kebijakan good neighbourly relations.[8] Selain itu, keaktivan China
dalam upaya menjaga perdamaian dunia, melalui PBB, ASEAN Regional Forum atau
Shanghai Cooperation Organization (SCO), juga memberi nilai tersendiri bagi
China.
5.
Standar Emas dan Dampaknya Terhadap Perekonomian. (Moneter)
Kasus Penetapan Standar Emas dan Dampaknya Terhadap
Perekonomian Dampak dari depresiasi rupiah terhadap Dollar ini amat dahsyat.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpuruk. Kebijakan otoritas moneter yang
menerapkan kebijakan uang ketat (tigh money policy) untuk membendung pelemahan
rupiah dengan menaikkan suka bunga memaksa bunga pinjaman naik. Akibatnya
proyek-proyek terhenti dan sejumlah perusahaan-perusahaan gulung tikar. Dampak
selanjutnya adalah terjadinya PHK besar-besaran. Harga sembako dan juga
barang-barang lainnya meningkat tajam sehingga membuat rakyat semakin menderita
(Yusanto, 2001: 3).
Peristiwa yang lebih mutakhir adalah krisis keuangan
yang melanda Argentina. Mata uang Argentina, Peso didevaluasi hingga lebih dari
100% dari Dollar AS yang menjadi patokan. Salah satu alasan utama kebijakan
devaluasi ini adalah keputusan untuk menghentikan pematokan (pegging) peso
terhadap Dollar AS, yang oleh IMF dianggap tidak lagi dapat dipertahankan.
Kegagalan strategi pemerintah dan kekacauan tersebut telah mempengaruhi situasi
negara-negara AS lainnya (Fredericks, 2004: 149). Dalam kondisi moneter yang
tidak stabil dan menimbulkan penderitaan tersebut ternyata pihak spekulan
menghadapi keadaan sebaliknya. Menurut Stiglizt (199: 2003) pukulan berat yang
mengakibatkan real estate dan pasar saham Thailand mengalami gelembung (bubble)
diakibatkan oleh uang spekulatif panas yang mengalir ke negara tersebut. Dan
memang pada faktanya perubahan arah modal spekulatif ini merupakan akar
pergerakan eksesif pada nilai tukar. Menurut Stiglizt (2003: 199) salah satu
sumber keuntungan para spekulan adalah uang yang berasal dari pemerintah yang
didukung oleh IMF.
Sebagai contoh ketika IMF dan pemerintah Brazil
mengeluarkan sekitar 50 miliar Dollar untuk menjaga nilai tukar yang berada
pada level overvalued pada akhir 1998, uang tersebut seakan hilang ditelan
angin. Namun pada faktanya uang tersebut sebagian besar mengalir ke
kantong-kantong para spekulan. Beberapa spekulan mungkin mengalami kerugian
sementara yang lain untung namun secara umum para spekulanlah yang memperoleh
seluruh uang yang diderita oleh pemerintah. Bahkan menurut Stiglizt (2003: 199)
IMF-lah yang menjaga agar para spekulan tersebut tetap dapat berbisnis.
Berdasarkan pemaparan di atas sangat wajar jika sejumlah kalangan mulai
mempertanyakan faktor fundamental yang menjadi pemicu berbagai krisis tersebut.
Mereka mulai mencari solusi alternatif yang dapat menstabilkan kondisi moneter
dan keuangan baik yang bersifat domistik maupun yang bersifat internasional.
Salah satu negara yang memberikan respon yang kuat dari instabilitas sektor
moneter tersebut adalah Rusia.
Pemerintah Rusia telah menyadari sifat spekulatif
pasar uang dan ketidakstabilan yang diakibatkan oleh penetapan standar mata
uang itu. Pada 10 Juli 2001 The Bank of Rusia yang merupakan Bank Sentral Rusia
mengedarkan mata uang emas yang bernama Chervonet. Dengan demikian mata uang
emas menjadi alat pembayaran yang sah. Diharapkan dalam jangka pendek
orang-orang Rusia bersedia mengubah tabungan mereka dari mata uang Dollar
menjadi mata uang Chervonet disamping Rubel yang saat ini beredar. Dalam jangka
panjang Rusia juga diharapkan dapat membuat perubahan besar dalam kebijakan
keuangan internasional di tengah kegalauan banyak negara yang berusaha
melepaskan diri dari sistem keuangan dunia yang berporos pada kepentingan
bangsa Anglo-AS (Frederick, 2004: 195). Bahkan pada perjanjian Mastrich bulan
Februari 1992-dalam upaya untuk menciptakan mata uang tunggal pada tahun
1999-Bank Sentral Eropa yang merupakan peleburan dari bank-Bank Sentral
negara-negara Eropa berupaya mengumpulkan 50 milyar Euro dalam bentuk emas dari
seluruh negara-negara anggota sebagai cadangannya.
Demikian pula halnya pada tanggal 1 Januari 1999.
Dewan Pengawas Bank Sentral Eropa telah menetapkan bahwa 15% dari cadangan
dasarnya yang mencapai 9,5 milyard Euro harus berbentuk emas (Salim, 2004).
Keinginan sejumlah ekonom dan pejabat pemerintahan untuk kembali pada standar
emas (gold standard) bukanlah tanpa alasan. Disamping dampak negatif yang telah
diakibatkan oleh standar mata uang kertas (fiat money standard), motif tersebut
juga dipicu oleh bukti historis kemampuan standar emas (gold standard) dalam
menjaga stabilitas moneter selama lebih kurang 100 tahun hingga tahun 1914
ketika Perang Dunia I pecah. Pada masa tersebut standar emas telah mampu
mewujudkan kestabilan moneter domostik maupun internasional serta mampu
menciptakan perdamaian dan kesejahteraan dalam kurun waktu yang cukup panjang
(Kimball, 2005). Inflasi yang menjadi masalah serius bagi otoritas moneter di
rezim fiat money standard–pada masa tersebut dapat berjalan secara stabil. Hal
ini karena rezim tersebut memiliki rezim moneter yang berjalan secarar otomatis
yang dapat mengatur pergerakan supply money di suatu negara serta diawasi
secara disiplin oleh otoritas moneter masing-masing negara.
Dengan demikian faktor utama yang menjadi pemicu
inflasi pada uang subtitusi sepenuhnya dapat dikendalikan (Herbener, 2002). Hal
ini juga diakui oleh diakui oleh Frederik Hayek (1976) sebagaimana yang dikutip
oleh Block (1999): “Secara signifikan hal tersebut hanya terjadi pada kejayaaan
sistem industri modern dan selama standar emas yang berlangsung sekitas dua
ratus tahun…pada masa itu harga-harga diakhir rezim tersebut tidak mengalami
perubahan. Ia sama sebagaimana awalnya.” (Hayek, 1976:16) “Kecuali selama dua
ratus tahun ketika standar emas diterapkan. Selain itu pemerintah sepanjang
sejarah telah mengunakan kekeuatan eksklusif mereka untuk menipu dan mencuri
harta rakyat.” (Hayek, 1976: 15) Disamping itu dengan adanya nilai tukar yang
tetap antara mata uang suatu negara negara dengan negara lainnya menjadikan
arus perdagangan dan investasi tumbuh dengan pesat. Hal ini sebagaimana yang
dinyatakan oleh Grenspan (1966) yang juga dikutip oleh Block (1999) : Ketika standar
emas diterima sebagai alat pertukaran oleh sebagian besar negara, standar emas
internasional yang bebas tanpa batas telah membantu percepatan pembagian tenaga
kerja (devision of labour) dan perluasan perdagangan internasional. Meskipun
alat-alat tukar (seperti Dollar, Pound, Franch, dll) berbeda antara satu negara
dengan negara lainnya dan seluruhnya detetapkan nilainya dengan emas, namun
selama masa tersebut tidak ada hambatan bagi perdagangan ataupun pergerakan
modal (movement of capital).” Meski demikian harus diakui bahwa kondisi
demografis, ekonomi, politik dan budaya serta perkembangan teknologi masyarakat
saat ini telah mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan masa tersebut.
Namun setidaknya terdapat beberapa faktor fundamental yang dapat dikaji pada
standar moneter tersebut dalam menciptakan stabilitas moneter dan keuangan
dibandingkan dengan standar moneter lainnya termasuk standar mata uang kertas
saat ini yang didominasi oleh Dollar.
Daftar pustaka :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar